Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Minggu, 20 Januari 2013

Naluri/Instinct dalam Seni: Teori dan Terapannya

艺术的本能/本能理论及其应用
Инстинкт / Instinct в искусстве: теория и ее приложения
वृत्ति / कला में इंस्टिंक्ट: सिद्धांत और उसके आवेदन
  Nasbahry Couto

4Naluri/Instinct dalam Seni: Teori dan Terapannya

Hal 4

Penutup

Memang penelitian dan tulisan Dutton ini menarik, antara lain.
  1. Ada perbedaan antara naluri manusia dan hewan, naluri hewan itu menetap, sedangkan naluri manusia  berevolusi (sesuai dengan teori Dutton). Naluri yang dimaksud pameran di atas mirip dengan apa yang dikemukakan oleh Freud, tetapi karena penulis belum pernah berdiskusi dengan kelompok mhs ini, maka ini hanya baru dugaan, dan tidak seluruhnya benar.
  2. Teori warisan budaya dan pemeliharaan budaya (yang menurut Dutton bersifat politis), jelas dapat bertentangan  dengan teori ini
  3. (catatan untuk butir 2) Jika kita mengikuti teori kelembagaan (intitusional George Dicky dan Howard Saul. Becker dengan teori interaksionalnya, maka jelas yang berperan dalam mematrikan budaya itu adalah lembaga dalam masyarakat, dunia pendidikan dan pemerintah dengan aktor-aktornya (lihat Bruno Latour). Tetapi teori lembaga lama ("Old institutionalism") ini memusatkan perhatian hanya pada norma.  teori ini telah diperbarui (new-institusionalism) oleh DiMaggio dan Powell (1991), DiMaggio (1991) memperkenalkan neo-institutional theory yang dipengaruhi pemikiran Max Weber dan Herbert Simon yaitu munculnya organizational fields yang lalu membatasi perilaku aktor. Artinya peran kelembagaan dalam seni,--jika kita mengikuti pemikiran baru ini-- lebih rumit dari yang dibayangkan orang, apalagi kemudian Bourdeau (dengan teori areanya) lebih menjelaskan peran lingkungan terhadap munculnya seni dan seniman.
  4. Nampaknya teori Dutton ini, lebih bernada universal, sebab menerobos batas-batas budaya. Misalnya, siapa yang dapat menjamin, bahwa seseorang dapat mengembangkan naluri seni secara evolusi  terhadap musik klassik Eropa? ketimbang seni budaya jawa, atau lagu dangdut
  5. Kita mempunyai panca indra sebagai alat persepsi, ekspresi, komunikasi yang  utama dalam hidup. Tetapi kenapa yang berkembang hanya mata dan telinga (seni musik dan rupa/visual) sebagai alat ekspresi seni. Pertanyaan ini dijawab (dari premis Dutton) berdasar teori evolusi
  6. Jika kita mengembangkan seni bau dan raba sebagai alat ekspresi, dapat dibayangkan, misalnya akan ada pameran kentut, atau pameran bau ketiak sebagai alat ekspresi
Teori Dutton ini tidak ada kaitannya dengan keyakinan atau kepercayaan, kaitannya adalah dengan penelitian yang diadakan oleh Dutton tentang perkembangan estetik manusia yang diduganya berasal dari evolusi juga. Sebab jika dikaitkan dengan keyakinan atau kepercayaan, sampai saat ini teori Darwin tentang asal manusia juga masih diperdebatkan. Berarti teori Dutton juga masih bisa di perdebatkan.
Catatan kaki
  1. http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/109523
  2. Umumnya pameran yang diadakan, untuk penutup kuliah di Padang seakan toko serba ada, apalagi tidak ada kurator (untuk mengarahkan), pembahasan karya, diskusi untuk mengembangkan pemahaman.
  3. http://skalanews.com/berita/detail/134334/Ekspresi-Naluri-Dalam-Dunia-Seni-Rupa
  4. Lihat Dutton, Denis. 2009. The Art Instinct: Beauty, Pleasure, and Human Evolution. New York: Bloomsbury Press. Dutton adalah seorang profesor filsafat seni di Universitas Canterbury di Selandia Baru, dan pendiri dan editor dari situs Web Arts  & Letter Daily. Gagasannya  diawali dari konsepnya tentang evolusi psikologi sejak 1990-an. Bahwa beberapa perilaku manusia sejak  jaman  batu secara psikologis dan genetik dapat memperlihatkan adanya instink ini.
  5. Pleistosen adalah suatu kala dalam skala waktu geologi yang berlangsung antara 1.808.000 hingga 11.500 tahun yang lalu. Namanya berasal dari bahasa Yunani πλεστος (pleistos, "paling") dan καινός (kainos, "baru"). Pleistosen mengikuti Pliosen dan diikuti oleh Holosen dan merupakan kala ketiga pada periode Neogen. Akhir Pleistosen berhubungan dengan akhir Zaman Paleolitikum yang dikenal dalam arkeologi. Pleistosen dibagi menjadi Pleistosen Awal, Pleistosen Tengah, dan Pleistosen Akhir, dan beberapa tahap fauna. Plestosen awalnya dikenal dengan diluvium, yakni formasi sekarang (holosen atau aluvium); bermula dari 1.750.000 tahun lalu dan berakhir sampai 10000 tahun lalu. kala pertama dalam zaman kuarter, dibawah satuan waktu geologi ini terdapat kala pliosen, dan diatasnya kala holosen. Pada kala plestosen bumi mengalami beberapa zaman es. Kala ini menyaksikan kelahiran homo sapiens yang pertama dan kepunahan berbagai jenis yang mendahuluinya, seperti pithecanthropus erectus. Di pulau Jawa, Sumatra, Nusa Tenggara, dan Sulawesi, kala ini dicirikan dengan kegiatan gunung berapi yang berlangsung hingga sekarang. Dari masa ini juga dikenal sebagai megaloceros (rusa besar), coelodonta antiquitatis (badak berbulu wol), mammuthus primigenius (mamut), ursus spelaeus (beruang yang hidup dalam gua), smilodon (semacam kucing besar), rusa kutub, bison, dll.
  6. Lihat blog:  http://www.aldaily.com/
  7. Stephen Davies adalah bagian  Profesor filsafat di University of Auckland, Selandia Baru.  Ia menulis terutama tentang estetika, terutama filsafat musik, tetapi juga bekerja pada filsafat politik. [2] Dia adalah mantan presiden dari American Society untuk Estetika (2007-2008), dan divisi Selandia Baru Asosiasi Australasia of Philosophy (2001). [3] Salah satu publikasi pertamanya adalah jurnal 'The Expression of Emotion di Music', diterbitkan di Mind tahun 1980 (Vol. 89, pp.67-86). Dalam artikel ini Davies pertama menguraikan teorinya bahwa musik adalah ekspresif/ungkapan  dari emosi, pada dasarnya mirip dengan cara kemunculan emosi manusia itu muncul. Teori ini mirip dengan yang diuraikan oleh Peter Kivy dalam bukunya The Corded Shell, yang diterbitkan pada tahun 1980. Namun, Davies mengembangkan pandangannya sendiri sebagai sarjana pada tahun 1970, dan teorinya adalah bagian dari tesis PhD-nya ditulisnya tahun 1976 dari  University of London.  Berbeda dengan Kivy., Davies juga menempatkan penekanan lebih besar pada kemiripan antara musik dan gerakan fisik, di mana Kivy cenderung menekankan kemiripan dengan ekspresif vokalisasi. Davies terinspirasi saat melihat sebuah iklan untuk sepatu Hush Puppies, dengan pikiran bahwa kita mengalami rasa sedih dalam menonton anjing Basset, meskipun tahu bahwa mereka tidak merasa sedih.
  8. Lihat bukunya: Definitions of Art. Ithaca & London: Cornell University Press, 1991.
  9. a.Lihat juga: http://www.nytimes.com/2009/02/01/books/review/Gottlieb-t.html?_r=0, teori Dutton ini juga sudah di filemkan, lihat di internet.
  10. 9b] Dr. Justine Kingsbury,  BA(Hons), MA VUW, PhD Rutgers , adalah Dosen, University of Waikato, Canada, Faculty of Arts & Social Sciences
  11. [10]  Tentang Hannah Rose Burgess, lihat http://denisdutton.com/burgess_review.pdf
  12. [11]  Lihat diskusi Dutton dengan Overing dalam http://denisdutton.com/weiner_review.htm
  13. [12] Is Aesthetics a Cross-Cultural Category? Lihat http://denisdutton.com/weiner_review.htm
  14. [13] Justine Kingsbury adalah dosen filsafat di University of Waikato, Selandia Baru. 

2Naluri/Instinct dalam Seni: Teori dan Terapannya


Hal 2

Menurut Dutton, masa lampau memang penuh teka-teki, dahulu mungkin bapak teori evolusi (Darwin) bersikap skeptis terhadap masalah ini. Kita hanya tahu begitu sedikit tentang lingkungan nenek moyang jaman Pleistosen 5) yaitu di jaman awal munculnya homosapiens, seperti apa mereka hidup, bagaimana mereka hidup, dan hampir semua hipotesis dan setiap strategi yang mungkin, dapat membantu mereka untuk berkembang.

Selain itu, kisah tentang evolusi psikologi di jaman Darwin mungkin terlalu dini untuk membicarakan seni berdasarkan naluri, yaitu saat teori Darwin itu muncul. Kecuali jika Darwin sendiri berkelana ke bidang psikologi dengan belajar tentang ekspresi emosi spesies atau leluhur manusia lainnya. Jika premis evolusi ini benar, maka asal-usul psikologi manusia mungkin lebih tua dari jaman Batu. Dan evolusi itu diperhitungkan dapat bekerja lebih cepat dari pernyataannya tentang ini di tahun 1990-an.


Dutton telah menghabiskan banyak waktu bergulat dengan teori-teori yang dikemukakan oleh para pemikir seni sejak jaman Aristoteles dan Kant sampai ke pemikiran Clive Bell dan Michel Foucault. Dia menyentuh  semua isu-isu utama tentang estetik dengan cukup singkat dan  jelas.  Dari uraian Dutton tentang naluri seni manusia, ada hal yang menggelitik  muncul  dari teka-teki  jaman  lampau itu,  misalnya mengapa kita memiliki seni suara dan warna (visual),  bukan seni bau atau lainnya.

Apa yang dipikirkan Dutton, memiliki nilai khusus, terutama pembahasan  tiga perdebatan  antara lain: (1) peran maksud/tujuan seniman, (2) dampak dari sifat seni yang palsu dan (3) konsep penjiplakan/peniruan . Sebagai contoh misalnya karya provokatif seperti aliran  Dadais, seperti karya seniman Marcel Duchamp yang berjudul "Fountain" itu, yaitu sebuah urinoir  yang ditampilkan dalam pameran pada tahun 1917. Dutton kemudian menguji kasus ini terhadap sekelompok  sifat karya yang menurutnya secara kolektif adalah karya seni --tapi dia menemukan kesulitan-- yang berakar dari konflik atau ketegangan di antara karakter-karakter karya itu.[6]

Menurutnya, sebuah karya bisa saja karya yang  sempurna, namun secara tradisonal diragukan “keasliannya”, anehnya karya itu berhasil memancing kenikmatan seni -- sama dengan karya asli yang dirancang untuk mendapatkan kenikmatan seni—jadi dalam banyak kasus orang tetap merasa tertipu (karena berpikir konsep seni secara tradisional). Sebaliknya, walaupun banyak karya menunjukkan orisinalitas – sesuai  dengan  pemikiran yang kita harapkan – banyak juga yang mengecewakan. Apakah karya seni itu sebenarnya, dan siapakah seniman? Apakah fungsi seni? Bagi Dutton, hal ini adalah ekspektasi (diluar dugaan),  bahwa fungsi seni yang paling kuno sebenarnya (tidak tergantung artefak),  tetapi menunjukkan hasrat seniman untuk membuat karya berdasarkan naluri

Jawaban pertanyaan Dutton, ini sebenarnya sudah di jawab oleh pemikir lain, dan sebenarnya dia bukan membahas seni atau bukan, tetapi menunjukkan seni yang didorong oleh naluri. Misalnya,  dalam Definisinya tentang Seni (1991), Stephen Davies[7]  --yang  membahas secara menyeluruh pemikiran dunia Anglo-Saxon -- meskipun dapat diapresiasi  secara mendalam untuk kemungkinan nilai-nilai dan fungsi tertentu dalam seni-- namun ia akhirnya menarik kesimpulan bahwa sesuatunya akan menjadi sebuah karya seni disebabkan semata status tertentu. Status ini diberikan oleh anggota dari dunia seni, biasanya seorang seniman - yang memiliki kewenangan untuk memberikan status yang bersangkutan-- berdasarkan peran dan posisinya dalam dunia seni, dengan otoritas yang dimilikinya. (Davies 1991: 218)[8]

Untuk menjelaskan argumennya, Dutton mengutip harapan Darwin ke  masa depan, psikologi " yang didasarkan pada fondasi yang baru, yaitu yang perolehan kapasitasnya oleh gradasinya yang diperlukan masing-masing oleh kekuatan mental. Apa yang membuat sepotong ilmu Darwin – dia mulai dengan pertanyaan seperti misalnya evolusi mata manusia (yang menghasilkan seni visual) – kemudian begitu kuat dan menonjol, ini adalah cara di mana sejumlah besar langkah-langkah perantara ditunjukkan untuk memimpin secara bertahap dari awal yang sederhana untuk hasil yang luar biasa. Namun, tidak ada langkah-langkah perantara untuk perkembangan yang tersedia untuk dapat menjelaskan evolusi naluri untuk membuat karya seni. Namun teori Dutton ini menyoroti bagaimana  asal-usul seni itu dalam kehidupan kita yaitu dari naluri.[9]

Kajian Dutton, jelas berbeda dengan kajian ahli psikologi analisa Freud. Dalam konsep Freud, naluri atau instink adalah representasi psikologi bawaan dari eksitasi (keadaan tegang dan terangsang) pada tubuh yang diakibatkan oleh munculnya suatu kebutuhan tubuh. Apabila tubuh membutuhkan makanan, contohnya maka energy psikis akan terhimpun dalam naluri lapar yang mendorong dan mengerakkan individu untuk bertindak memuaskan kebutuhan akan makanan. Bahwa pada naluri terdapat empat unsur, yaitu sumber, upaya, objek dan dorongan. Sumber dari naluri adalah kebutuhan, upayanya adalah mengisi kekurangan atau memuaskan kebutuhan. Adapun unsur dorongannya jelas bahwa naluri itu bersifat mendorong individu untuk bertindak dan bertingkah laku. Freud berpendapat bahwa naluri-naluri yang terdapat pada manusia dibedakan ke dalam dua macam naluri, yaitu naluri kehidupan (life instincts) dan naluri kematian (death instincts).

Yang dimaksud dengan naluri kehidupan oleh Freud adalah naluri yang ditujukan pada pemeliharaan ego (the conservation of the individual) dan pemeliharaan kelangsungan jenis (the conservation of the species). Dengan perkataan lain, naluri kehidupan adalah naluri yang ditujukan kepada pemeliharaan kehidupan manusia sebagai individu maupun sebagai species. Contoh dari naluri kehidupan adalah lapar, haus dan seks. Sementara naluri kematian atau “ Thanatos” (naluri merusak) adalah naluri yang ditujukan kepada perusakan atau penghacuran terhadap apa yang sudah ada (organisme atau individu itu sendiri). Freud mengajukan gagasan mengenai naluri kematian ini berdasarkan fakta yang ditemukannya bahwa tujuan semua mahluk hidup atau organisme adalah kembali kepada tujuan organis atau dengan kata lain tujuan dari seluruh kehidupan adalah kematian. Namun naluri menurut Dutton, hanya diperoleh dalam perkembangan, atau dikembang sendiri oleh manusia, dan hal ini bisa bersifat evolusi(lambat) dan revolusi (cepat).

2. Teori Dutton: Perkembangan Naluri Estetik Manusia
Buku Dutton ini merupakan titik balik dari teori estetika dan seni, yang mengkaji seni dari segi evolusi naluri manusia. Menurut Kingsbury Justine 9b) Denis Dutton ini sebenarnya dimaksudkan untuk memprovokasi (memancing perhatian). Sebab dia berbicara tentang naluri manusia untuk menjelaskan seni, misalnya untuk penciptaan musik Bach B minor atau lukisan Guernica Picasso. Namun timbul pertanyaan, bagaimana bisa menjelaskan apresiasi kita terhadap kecemerlangan karya-karya seni? Sebab kreasi seni dan apresiasi seni tampak jauh dari jenis kegiatan (naluri) seperti seks orang dewasa, kebuasan sifat hewani dan makanan busuk, dan sebagainya - yang kita anggap sebagai tempat limpahan dorongan naluri seperti teori Freud. Dan hal ini kelihatan bertentangan dengan pendapat bahwa seni itu adalah warisan budaya, pengaruh budaya.


Tujuan utama dari buku Dutton adalah untuk menjelaskan seni dan pengalaman seni kita dalam kaitannya dengan teori Charles Darwin tentang evolusi estetik- mungkin tampak  aneh. Memang teori evolusi Darwin telah berhasil diterapkan untuk berbagai bidang kehidupan, tapi untuk menerapkannya ke seni tampaknya agak berlawanan. Seni, dan pengalaman kita tentang hal itu, adalah aspek yang kehidupan manusia yang tidak luput dari aturan dan bentukan budaya.

Pendapat Dutton, berbeda dengan pendapat bahwa seni itu adalah dalam manifestasi terbesar dari rasionalitas manusia, kecerdasan dan kontrol sadar. Dengan demikian, untuk menjelaskan seni dalam hal naluri universal, bisa tampak sebagai sesuatu istilah yang kontradiktif. Selain itu, bagi banyak orang di abad kedua puluh dan dua puluh satu, gagasan seni dalam lintas-budaya seni yang dipikirkan sebagai bawaan sifat manusia, mungkin tampak bersifat politis dan mengganggu sifat keintelektualan seni. Namun, buku Dutton merupakan upaya berkelanjutan untuk menghilangkan prasangka tersebut.

Dutton berpendapat, estetika itu bukan batu tulis kosong. Estetika itu dikembangkan, sama seperti reaksi biologis manusia -- misalnya mengembangkan rasa takut kepada ular daripada takut kepada kelinci -- sehingga (jika estetika itu dikembangkan) kita akan paham, itu akan dapat membuat lebih mudah bagi kita untuk menghargai karya pelukis Renoir, ketimbang menghargai karya Duchamp. Seperti yang disebut Dutton dalam bukunya sebagai berikut ini.
Meskipun benar bahwa  tertib budaya  dan perilaku selera estetika itu sangat luas, namun tidaklah selalu  berasal dari budaya, yang dapat memberikan kita rasa untuk segalanya. Juga, sebaliknya, tidaklah  berarti bahwa jika di masa depan ada tukang pos  ditemukan menyiulkan salah satu baris nada musik Schoenberg, hal itu berarti  bahwa tukang pos itu tidak menghargai keindahan  tanpa nada. Sebagaimana sifat manusia, juga perkembangan estetiknya, terbatas pada apa budaya dan seni yang dapat dicapainya, dengan kepribadian serta selera nya. (Dutton 2009, 205-206).
Artikel ini terdiri dari 4 halaman

(4) Penutup 

3Naluri/Instinct dalam Seni: Teori dan Terapannya

Hal 3

Salah satu kontribusi paling penting untuk teori seni dan estetika  yaitu ketika Dutton dapat menemukan dan menyusun diskusi  tentang pertanyaan 'apa itu seni? " "Dia menawarkan satu set' kriteria' dengan dua belas aspek yang menurutnya,  adalah definisi seni dan pengalaman estetik yang terdiri dari berikut ini.
  1. Kesenangan langsung (direct pleasure). Obyek seni- narasi cerita, artefak kerajinan, atau karya visual dan aural - dengan sendirinya dihargai sebagai sumber kesenangan pengalaman langsung, dan pada dasarnya tidak untuk utilitas, memproduksi sesuatu yang lain yang baik berguna atau menyenangkan.
  2. Keterampilan dan keahlian (skill and virtuosity). Pembuatan obyek atau kinerja membutuhkan dan menunjukkan latihan keterampilan khusus.
  3. Gaya(style. Obyek dan pertunjukan dalam segala bentuk seni yang dibuat dalam gaya dikenali, menurut aturan bentuk, komposisi, atau ekspresi tertentu.
  4. Kebaruan dan kreativitas (novelty and creativity). Seni dihargai, dan dipuji, untuk pembaharuan, kreativitas, orisinalitas, dan kapasitas memberi kejutan kepada penontonnya.
  5. Kritik (criticism). Dimanapun bentuk artistik yang ditemukan, mereka dinilai dan di apresiasi dengan beberapa jenis bahasa kritis, bahasa yang sederhana atau, lebih luas, dan atau terperinci.
  6. Representasi ( representation). Penggambaran dalam berbagai tingkatan naturalisme obyek seni, termasuk patung, lukisan, dan narasi lisan dan tertulis, dan kadang-kadang bahkan musik, mewakili atau meniru pengalaman nyata dan imajiner dari dunia.
  7. Fokus sesuatu, (specific focus). Karya seni dan pertunjukan seni cenderung membngkai atau mengurung  hal-hal yang terdapat pada  kehidupan biasa, membuat menjadi terfokus kepada sesuatu, yang terpisah dan didramatisir dari pengalaman manusia.
  8. Ekspresif individualitas (expressive individuality. Potensi untuk mengekspresikan kepribadian individu umumnya dalam praktek seni disembunyikan atau tersembunyi, kadang hal itu tidak sepenuhnya tercapai.
  9. Saturasi Emosional (emotional saturation). Dalam berbagai tingkat, pengalaman karya seni yang dikuakkan melalui emosi.
  10. Tantangan Intelektual. Karya seni cenderung dirancang dengan memanfaatkan berbagai gabungan dari kapasitas persepsi dan sepenuhnya dari intelektual manusia , memang, karya-karya terbaik diciptakan melampaui batas hal-hal yang biasa.
  11. Seni tradisi dan lembaga (art traditions and institutions). Seni benda dan pertunjukan, seperti banyak dalam berskala kecil budaya lisan seperti dalam peradaban terpelajar, diciptakan dan ke tingkat penting yang diberikan oleh tempat mereka dalam sejarah dan tradisi seni mereka.
  12. Pengalaman imajinatif (imaginative experience). Akhirnya, dan mungkin yang paling penting dari semua karakteristik dalam daftar ini, benda-benda seni pada dasarnya memberikan pengalaman imajinatif baik bagi produsen maupun audiensnya.
Kriteria dari daftar Dutton ini berfungsi sebagai prinsip-prinsip dasar yang dapat menilai status berbagai objek atau tindakan seni. Orang mungkin bertanya-tanya apakah ini seperangkat kriteria yang bermakna bebas atau ruang lingkup konsep seni dalam arti apapun. Jawaban atas pertanyaan ini harus, tegas, tidak. Keuntungan menawarkan cluster-definisi justru itu tetap fleksibel dan cair. 

Menurut Hannah Rose Burgess[10] klaster-kriteria Dutton yang ditawarkannya itu adalah masuk akal, berguna dan mencerahkan kita. Misalnya ketika Dutton menerapkan kriteria untuk karya Fountain dari pelukis Marcel Duchamp (1917) dalam upaya untuk menetapkan status seni (Bab 8). Upaya penulis untuk mendefinisikan seni adalah baik berani dan mengagumkan. Nilai terbesar dari langkah tersebut tidak mungkin terletak dalam definisi seni itu sendiri, tetapi perdebatan dalam tentang hal yang pasti akan terjadi.

Mungkin fitur terbaik dari buku karangan Dutton The Instinct Art (2009) adalah kemajuan yang signifikan yang mediskreditkan gagasan bahwa seni adalah budaya relatif. Beberapa akademi yang progresif mengadopsi pandangan ini (budaya relatif) , tapi banyak dari wujud konsep ini menjadi semu atau mudah jatuh ke tautologi (pengulangan kata tapi maknanya kabur). Konsep naluri seni mengambil sikap tegas terhadap budaya relatif ini. Dutton menjelaskan dalam bukunya dengan judul ‘But They Don’t Have Our Concept of Art’ ("Tapi Mereka Tidak Memiliki Konsep Seni Kami' ) (bab 8) adalah, dalam bagian, serangan ini.

Dutton menulis dengan argumen logika yang kuat untuk mengungkapkan inkoherensi bentuk pandangan ini. Potongan yang  sangat baik dan bernalar terjadi dalam diskusi Dutton dengan antropolog Joanna Overing [11]yang mengklaim bahwa 'kategori estetik hanya khusus untuk era modern', yang dengan sendirinya ' memiliki kesadaran tertentu dalam seni' (‘a specific consciousness in art’). Joanna Overing beragumen lebih lanjut bahwa '"estetika" adalah sebuah konsep borjuis dan elitis dalam arti sejarah yang paling literal, menetas dan dipelihara dalam pencerahan rasionalis' (Dutton, 2009: 65). Dutton kemudian memberikan respon sebagai berikut ini.
it is striking how even writers who would reject ‘our’ intuitions as shot through with a bourgeois ideology or ethnocentrism, and who would prefer to stipulate de nitions for their own theoretical purposes, are themselves reliant on the very intuitions they repudiate.  Overing’s argument by stressing ‘the hidden dangers’ for anthropologists of  bringing concepts of western aesthetics ‘to the task of understanding and translating other people’s ideas about the beautiful’ is reduced to contradiction and incoherence.  She cannot have it both ways: on the one hand denying that aesthetics is a cross-cultural category, while on the other hand affirming that ‘other people’ also have ‘ideas about the beautiful’​​(hal. 67).[12]
Untuk pembahasan ini saya merasa cenderung untuk menambahkan satu titik. Yaitu, bahwa teori penilaian estetik tidak diperlukan untuk menghakimi estetika itu sendiri. Tampaknya Overing percaya bahwa penilaian estetika tidak bisa menjadi fitur (bagian terpenting)  dari pengalaman manusia sebelum dicerahkan. Dia memberikan sebuah analogi, tidak ada yang serius mempertahankan teori gravitasi yang tidak ada sebelum temuan grafitasi oleh Galileo atau teori oksigen sebelum temuan Joseph Priestley.

The Instink Art juga membahas beberapa topik terpanas dalam teori estetika modern, termasuk hal-hal yang valid dan menarik niat seniman untuk memahami, menafsirkan dan menjelaskan seni, dan masalah-masalah teoritis seputar pemalsuan seni. Tentu saja, masalah menarik dari tujuan artistik (artistic intention) bukanlah yang baru, tetapi terus-menerus dan sangat relevan dengan teori-teori kontemporer penulisan seni serta teori sastra.

Dutton membahas kasus pentingnya memahami tujuan seniman (artist intention). Walaupun hal ini kurang jelas, Dutton menjelaskan tujuan seni dan ada kontribusinya. Apakah pemahaman kita tentang sebuah karya, apresiasi kita terhadap pekerjaan, atau respon estetik dari pekerjaan kita yang ditingkatkan melalui pengetahuan tentang tujuan seniman? Dutton mengklaim bahwa 'Hal ini tidak akan sampai ke interpretasi yang sewenang-wenang untuk memaksakan sebuah kesepakatan untuk menghasilkan interpretasi yang menempatkan kerja itu sebagai yang terbaik' (Dutton,2009: 171).

Suatu keberatan yang agak terkenal pentingnya tujuan artistik juga perlu diperhatikan. Ini menyangkut kesenjangan antara tujuan dan hasil. Banyak seniman mungkin bertujuan agar karya-karya mereka untuk menjadi estetis dan menyenangkan, dan bahkan  mungkin inovatif. Niat tersebut jelas banyak yang tidak terpenuhi. Seorang seniman mungkin berniat pekerjaan mereka untuk menjadi cantik, tetapi bisa saja respon orang tidak merasa begitu, niat artis tidak dapat mengubah respon kita. Argumen Dutton ini meremehkan pentingnya respon subjek untuk melihat seni.

Hal terpenting dari teori Naluri Seni adalah diskusi Dutton tentang kemungkinan estetika penciuman (bau). Penulis berpendapat kemungkinan penciuman menjadi media untuk 'tradisi seni besar'. Dia menarik bagi klaim Monroe Beardsley bahwa masalah untuk kemungkinan bau sebagai medium artistik adalah bahwa bau tidak memiliki 'intrinsik hubungan' yang ada di antara mereka. Bau dapat disistematisasi, dan memang sudah ada sejak zaman Mesir. Bau itu sekarang dapat diklassifikasikan  ke dalam enam kelas utama, yaitu bau manis, bau harum, bau buah, bau busuk, bau pedas dan bau cat (terebenthene). Dutton juga memandang bahwa benda-benda berbau yang aneh tanpa emosi intrinsik dari jenis yang tampaknya melekat dalam struktur musik atau bentuk ekspresif dari warna lukisan' (hal.Dutton,2009: 212).

Dutton menyatakan bahwa bau yang tidak emosional ekspresif seperti musik, bahwa mereka mirip kemampuannya dengan warna. Merah mungkin menandakan kebencian, gairah, amarah, cinta - atau semua ini. Warna itu kuat menggugah tetapi juga tidak khas dalam membangkitkan emosi-emosi manusia. Demikian pula, bau darah manusia dapat memusingkan  dan memicu respons emosional yang tidak spesifik tapi kuat - mungkin akan memancing rasa takut atau kekhawatiran. Demikian juga, bau roti baru dipanggang dapat membangkitkan perasaan kebahagiaan. Bau, dapat sangat menggugah emosi. Pembahasan Dutton penciuman akan, dapat memprovokasi dialog lebih lanjut dan menjelajahi daerah baru yang menarik dari Instinct Art aesthetics.

Menurut Kingsbury Justine[13]  ada banyak buku dan tulisan yang membahas the instinct art seperti yang ditulis Dutton, dan hampir seluruhnya ditulis dengan baik, menghibur dan informatif, dan antusiasme Dutton untuk subjeknya dapat menular ke pemikir/penulis lain. Namun ada sesuatu pengecualian, sebab tulisan Dutton tentang seni dikaitkan dengan seleksi alam dan biologis: namun teori ini bisa juga akan macet dalam diskusi jika membahas tentang adaptasi  terhadap produk-produk yang bersifat membingungkan. Namun, bagaimanapun, teori Dutton  ini akan menginspirasi lebih banyak pekerjaan yang mirip dengan topik ini: dalam hal apapun, itu pasti berhasil dalam tujuan keseluruhan untuk meruntuhkan pandangan bahwa seni tidak ada hubungannya dengan biologi. 

Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting