Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Rabu, 21 September 2011

Memahami Seni Sebagai Refleksi Budaya Visual

Oleh Nasbahry Couto
Revisi 14-11-2011
Kita melihat di TV bagaimana sebuah patung di hancurkan oleh masyarakat Purwakarta, di Indonesia  baru-baru ini. Hal ini bisa terjadi karena pandangan streotipe masyarakat (bahwa patung adalah berhala). Anak-anak SMA tawuran karena kecemburuan sosial (antara yang miskin dan kaya, antara bebas dan tidak bebas). Sinetron dan TV nampaknya getol menggali pandangan streotipe dan ketimpangan sosial dalam masyarakat, apakah media ini yang memicu kecemburuan sosial?


Ada yang mengisukan, wartawan (tulis, elektronik) cendrung memanaskan suasana atau berpihak. Kelihatan bahwa pendidikan karakter saja tidak mampu untuk mengatasi masalah sosial di Indonesia. Sebab ada yang luput dari perhatian kita selama ini, misalnya  peranan budaya visual dan efeknya dalam masyarakat kita. 
Catatan: Artikel ini adalah cuplikan isi buku Budaya Visual seni dan Tradisi Minangkabau, karangan penulis (2008). Artikel ini ingin mengungkap sedikit tentang budaya visual sebagai bagian dari seni dan budaya. Pendidikan seni dan budaya visual jarang disadari dan diketahui. Pada hal hal-hal yang nampak dari perbuatan manusia dapat menjadi bahasa tersendiri, sebagaimana bahasa verbal. 
Kedua bahasa itu (visual dan verbal) dipakai dalam kehidupan sehari hari. Umumnya orang jarang berpikir kearah itu. Yang dikenal oleh orang, umumnya adalah bahasa verbal.(lihat catatan akhir. Pemerintah bingung dalam mengelola pendidikan seni dan budaya ? Ada bahayanya jika mencampurkan pendidikan seni dan budaya, pandangan komunitas, kelompok sosial maupun etnik bisa jatuh pada streotipe sosial budaya, hal ini jika dipelihara sama halnya dengan memelihara bom waktu yang sewaktu-waktu bisa memicu konflik sosial di Indonesia. Menurut penulis pendidikan seni, akan lebih aman jika mengikuti standar pendidikan seni dunia. Kebudayaan asli Indonesia itu memang harus di lestarikan, tetapi ada cara lain yang lebih efektif dalam memelihara kebudayaan lama itu.
Misalnya, baru-baru ini di galery seni FBSS UNP Padang, (oktober 2011) diadakan diskusi tentang bedah buku dari komunitas seni "Taring Padi" dari Yogya, apa komentar dari "pembedah buku" (dosen dari jurusan bahasa Inggris) tentang ekspresi seni komunitas dari Yogya ini, dia sangat tidak setuju dengan cara berpakaian wanita yang digambarkan oleh hampir semua karya komunitas seni Taring Padi dari Yogya dalam buku ini. Kenapa, katanya terlalu jawa sentris, dan melecehkan wanita, karena "baju kebaya itu" menggambarkan lekuk tubuh, tidak cocok dengan budaya Minang, apalagi Islam kata pembicara yang bukan bidang seni rupa ini. Lebih bagus baju "kurung basiba" katanya. 
Baju kebaya ini dijadikan baju nasional sejak jaman ibu Tien Suharto, dan dia tidak setuju. Apalagi setiap menggambarkan wanita selalu menggendong anak. Apakah memang wanita itu kerjanya hanya mengasuh anak? Katanya. Disini kita melihat bahwa si pembahas karya Taring sudah masuk ke masalah gender dan juga konflik budaya visual, yaitu sreotipe budaya visual suku Jawa dan Minangkabau. Komentar penulis: Apakah kita harus merubah cara berpakaian budaya Jawa kepada Minang atau sebaliknya? Streotipe sosial ini akan semakin melebar jika masing-masing daerah dalam pendidikan seninya mencampurkan antara pendidikan seni dengan pendidikan budaya, yang sekarang sedang marak-maraknya di adakan di berbagai perguruan tinggi dan pendidikan umum di Indonesia. Yang berbahaya adalah jika timbul pandangan bahwa budaya visual masing-masinglah yang paling baik, seperti disinyalir hal ini ada, karena pendidikan seni yang berorientasi kepada budaya visual masing-masing daerah.

Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting