Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Kamis, 10 Maret 2011

Seni Patung Modern Sumatera Barat dalam Perspektif Sosiologis

Oleh: Erfahmi
Dosen Jurusan Seni Rupa FBSS UNP Padang
(Editor: Nasbahry Couto)
The results of the study show that the growth and the development of the modern sculpture of West Sumatera are influenced by various factors such as the existing art educational institutions, governmental institutions, state owned corporations and local government owned corporations, private institutions, artists and their supporting people. The direction of the growth and the development of the modern sculpture of West Sumatera is more likely to serve its social functions as clearly observed in the sculptural work in the form of monuments and other monumental works with their realistic representation of the form copying than those that serve the function as the personal expression of the artists. It is believed that the phenomena is economically influenced by the governmental institutions and the state owned corporation and the local government owned corporation and also the private sector in addition to the supporting people with their political tendency and to establish certain institutional or corporation images of the respective institutions.
Keywords: Modern Sculpture Art, Growth, and Development


PENDAHULUAN

Sejarah Singkat
Pertumbuhan senirupa dalam kelompok seni murni (fine art), seperti lukis, patung, grafis dan kriya di Sumatera Barat dapat mengikuti alur perkembangan tersendiri sesuai bidang spesialisasinya. Pertumbuhan seni rupa ini tidak terlepas dari tokoh-tokoh yang membangunnya. Mengenai hal ini Usman (1994:7), berperdapat sebagai berikut.
Seni rupa murni yang keberadaannya sekarang, dahulu, tepatnya sebelum masuknya sekolah-sekolah governemen, belum dikenal oleh masyarakat Sumatera Barat. Baru setelah kedatangan dua orang tokoh besar seni rupa Sumatera Barat yang merintis jalan ke arah itu, seni rupa murni mulai dikenal masyarakat pada tahun 1920-an. Kedua tokoh itu adalah Wakidi dan M. Syafei.

Wakidi dan M. Syafei dianggap tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan senirupa modern di propinsi Sumatera Barat, yang banyak muridnya. Di antara murid dan pengikutnya itu, ada yang berprofesi sebagai seniman patung seperti Hasan Basri (1920-…), Nurdin (1912-…), Syamsul Bahar (1913-1994), A.A. Navis (1924-…), Ramudin (1922-1995), Anwarsjam (1927-…) dan Dahlan Djas (1929-…) (Saleh, 1957:150). Namun, dari sekian banyak nama itu, tidak banyak karya-karya yang masih dapat dilihat dan ditemukan di Sumatera Barat. Misalnya  karya Ramudin dalam bentuk monumen “Pejuang yang Tak Dikenal” (1950)  di kota Padang.


 
 Monumen Pejuang yang Tidak Dikenal, di kota Padang, karya Ramudin (1950) 1)
Lokasi patung (klik kanan di sini)

Kemudian karya Ramudin Pahlawan Tidak Dikenal (1958-1963) di kota Bukittinggi. Yaitu sebuah karya monumen yang bentuknya dipenuhi tanda-tanda simbol perjuangan. Karya ini diselesaikannya tahun 1963, yaitu hampir delapan tahun lamanya. Dapat dikatakan bahwa penciptaan seni patung moderen Sumatera Barat yang simbolis itu-- yang dimulai oleh Ramudin dengan teknik plastering --  belum muncul pada daerah lain di Indonesia. Sesudah itu dia seakan tenggelam oleh kesibukannya sebagai penata musik untuk pagelaran tari istrinya (Hoeryah Adam).

Monumen Pahlawan Tidak Dikenal, di kota Bukittinggi, karya Ramudin (1958-1963) (klik kanan di sini)

Dari catatan sejarah daerah ini, dapat diketahui bahwa pada periode Revolusi Fisik Kemerdekaan (1945-1949), sejumlah murid dan pengikut Wakidi dan M. Syafei, mendirikan berbagai sanggar seni. Dalam kacamata penulis sejarah seni rupa Indonesia hal ini dilihat sebagai sebuah gerakan, yaitu gerakan seni di luar pendidikan formal. Kadang-kadang juga dapat dilihat sebagai bagian dari kemerdekaan itu sendiri.
In Box


Sebuah sanggar adalah sebuah tempat dimana seniman bekerja. Karena itu sanggar dapat juga diartikan sebuah studio gambar (lukisan), atau workshop (patung, kriya, tari). Anehnya, penulis sejarah seni rupa sering membesar-besarkan makna sebuah sanggar. Terutama sanggar-sanggar seni yang muncul di awal kemerdekaan. Dan anggota sanggar disebut sebagai "pengikut". Hal ini dapat dipahami karena banyak penulis & kritikus seperti Soedjoyono, mengganggap sanggar sejaman sebagai tempat membuat propaganda/ poster anti kolonial. Demikian juga bentuk-bentuk anti aliran seni lainnya. Misalnya Soedjoyono anti terhadap seni lukis bercorak "Moi Indie" yang dianggapnya sebagai warisan kolonial. Oleh karena itu mereka menyebutnya atau mengasosiasikan sanggar sebagai sebuah "gerakan". Pelukis Wakidi juga memiliki sebuah studio, walaupun tidak pernah disebut sebagai sanggar Wakidi, mungkin karena lukisannya yang bercorak "Moi Indie: itu. Semasa kecil (SD) Nasbahry Couto, kebetulan bertetangga dengan pelukis Zanain di kota Bukittinggi, kenal dengan anak-anak serta karya-karya yang terpajang di kamar tamunya, Zanain juga membuat tempat kerja (studio) di rumahnya, tetapi tidak pernah disebut sanggar Zanain. Jadi sebuah sanggar tidak lain sebagai sebuah "ruang praktek dokter" dimana seniman bekerja dan berkarya untuk mencari uang.
Menurut Kusnadi & Nyoman Tusan (1978:32), “di Bukittinggi berdiri ‘Seniman Muda Indonesia’ disingkat SEMI yang diketuai Zetka dengan anggauta antara lain A.A. Navis dan Zanain”. Kegiatan sanggar-sanggar ini meliputi berbagai spesialiasi antara lain menggambar, melukis dan mematung. Khusus untuk kegiatan mematung mengalami banyak hambatan. Misalnya, ketika A.A. Navis membuat patung potret ayahnya, dia mendapat tantangan dari keluarganya” (Rosa, 2004:11). Dalam hal ini, mungkin terkait dengan pandangan masyarakat di   Sumatera Barat saat itu yang masih memandang tabu untuk menciptakan patung yang berbentuk realistis. 2)

Tujuh tahun kemudian (1970), Arby Samah pulang ke Sumatera Barat setelah studi Seni Rupa di Yogyakarta. Beliau dipercaya Pemda Kota Padang membuat monumen “Bagindo Azis Can”. Kemudian  tahun 1975 Dia juga dipercaya membuat patung dalam wujud monumen “Pejuang Revolusi” di Nagari Sungai Buluh kecamatan Batang Anai Kabupaten Padangpariaman Sumatera Barat. Umumnya seni patung yang diciptakan Arby adalah untuk kebutuhan  monumen perjuangan yang diciptakan dalam gaya realis. Monumen tersebut satu persatu berdiri di beberapa tempat lain di Sumatera Barat, hal ini berlangsung sampai tahun 1990-an. Sejalan dengan waktu, hambatan dan pandangan sosial terhadap seni patung sedikit banyaknya  berubah. Hal ini sejalan dengan kehadiran lembaga-lembaga pendidikan formal kesenirupaan di Sumatera Barat berikut apresiasi masyarakatnya.

Ekspresi Seni Patung:  dari Realis ke Non-Figuratif 3)

Walaupun demikian, seni patung sebagai alat ekspresi pribadi atau self expression di Sumatera Barat belumlah muncul. Kehadiran Arby Samah menurut Rosa (2004:12), “tidak lagi punya greget seperti ketika masih di Yogyakarta”. Pendapat yang hampir sama, juga disampaikan oleh Hadi (13 September 1996) di Harian Haluan Bahwa semenjak dia kembali ke ‘Kampung’ (Sumatera Barat) dan terlibat dengan tugas-tugas rutin kepegawaian dan sosial kemasyarakatan, dari hari ke hari semakin ‘lepas’ dan ‘berjarak’ dengan apa yang telah dicapainya”. Padahal apa yang telah diperoleh Arby ketika ia di Yogyakarta menurut sebuah tulisan Sudarmaji yang dimuat pada Ruang Budaya Harian Kompas (30 Maret 1976); “Di Yogyakarta hanya satu orang yang sudah menunjukan gejala non figuratif ialah Arby Samah…”. Begitu juga dengan apa yang ditulis oleh Holt, Claire (1967) dalam bukunya Art in Indonesia yang dikutip oleh Soedarsono (2000:341) sebagai berikut. 
Di antara mahasiswa-mahasiswa patung yang lain adalah Arby Sama, yang bergerak ke arah yang sangat berbeda. Ia sedang mengadakan eksperimentasi dengan bentuk-bentuk semi-abstrak yang pada waktu itu benar-benar tidak biasa di ASRI dan bagi Yogya secara umum. Walaupun ia tidak dirangsang dan juga tidak diarahkan ke arah ini, dengan jelas tidak ada penolakan yang jelas dari komposisinya.

Mungkin tidak hanya Arby Samah yang mengalami kondisi seperti dikemukakan di atas. Banyak figur lainnya, setelah menimba ilmu seni di berbagai perguruan tinggi seni seperti ASRI (ISI) Yogyakarta, ITB, Bandung dan di PT seni lainnya di luar daerah, setelah kembali ke daerahnya  mengalami hal yang mirip dengan yang dilami Arby Samah.  Diantara kemiripan itu bukan hanya dalam ekspresi berkarya, tetapi lebih menekuni tugas-tugas kesehariannya sebagai guru atau staf pengajar pada PT atau sekolah yang memiliki program studi seni rupa yang ada di daerahnya, setidaknya hal ini sangat dominan di kota Padang.

Bertolak dari fenomena yang terjadi tentang pertumbuhan dan perkembangan seni patung modern Sumatera Barat yang telah berjalan lebih dari setengah abad lamanya, menarik untuk dikaji dengan pertanyaan: “Faktor-faktor apa saja dan bagaimana faktor-faktor tersebut menentukan arah pertumbuhan dan perkembangan seni patung modern Sumara Barat”.


SEBUAH  PENELITIAN


Metodologi
Artikel ini adalah ringkasan dari penelitian yang diadakan oleh penulis. Terkait dengan hal ini maka dilakukan sebuah penelitian yang diberi judul “Seni Patung Modern Sumatera Barat: dalam Perspektif Sosiologis” ini, dapat dikategorikan ke dalam wadah bingkai penelitian kualitatif. Penelitian ini menekankan pada tata cara, alat, dan teknik yang berorientasi pada paradigma alamiah seperti yang dijelaskan oleh Guba dan Lingkoln (Moleong,1989:vii).  Nawawi (1983:209) juga menjelaskan tentang penelitian ini sebagai “penelitian kualitatif “, yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring informasi dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu objek dan atas hubungan dengan pemecahan suatu masalah baik dari sudut pandang teoretis maupun praktis.


Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini berisikan ringkasan, eksplanation (penjelasan), dan interpretasi atas temuan dalam proses dan tindakan pengumpulan data. Secara keseluruhan, berdasarkan pertanyaan yang telah diajukan pada penelitian ini, yang nantinya dibagi menjadi dua bagian yaitu: 1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Seni Patung Modern Sumatera Barat, 2. Arah Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Patung Modern Sumatera Barat.

Tinjauan terhadap Seni patung modern Sumatera Barat, dari waktu-kewaktu tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhi dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Kajian terhadap fenomena seni patung tersebut, dibahas sesuai dengan teori sosiologi yang dikemukakan oleh Vera L. Zolberg sebagai landasan teori utama dan didukung oleh teori-teori lainnya serta wawancara yang berhubungan dengan permasalahan.


 Zolberg (1990:ix) berpendapat bahwa: “Scholars have discovered the socially constructed nature of art, cultural institution, artists, and publics. Rather than assume that these complex phenomena art explained by simpel causes, we find it necessary to incorporate heterogeneity, processes of discovery, evalution, history…”

Pendapat Zolberg ini diartikan bahwa para sarjana telah menemukan sebuah konstruksi seni, yaitu institusi sosial, seniman, dan masyarakat. Asumsi itu dapat diterangkan dengan konsep, bahwa fenomena kesenian yang terjadi sedemikian rupa keterangannya dapat dijelaskan atas kompleksitas temuan seni, kreasi dari tradisi, evaluasi, dan sejarah. Dengan demikian, pemakaian teori dalam pembahasan ini akan disesuaikan dengan sifat dan karakteristik seni patung modern Sumatera Barat yang diteliti.
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Seni Patung     
    Modern Sumatera Barat
Di antara Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan seni patung modern Sumatera Barat seperti yang akan dibahas dengan kerangka teori di atas (institusi sosial, seniman, dan masyarakat), dimana ketiga faktor utama tersebut berada dalam sistemnya masing-masing dan saling dan terkait antara satu dengan yang lainnya.

Institusi sosial, adalah faktor penentu dalam perwujudan karya seni, termasuk seni patung Sumatera Barat. Hal itu terlihat dari peran serta institusi atau lembaga seperti institusi pendidikan, lembaga pemerintahan, badan usaha milik negara dan daerah (BUMN/BUMD),  lembaga swasta, dan atau lembaga-lembaga terkait lainya. Peran serta institusi tesebut, tidak terlepas dari tujuan dan kepentingan serta sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.

Institusi pendidikan. Yang dimaksudkan dengan institusi pendidikan senirupa adalah sekolah  Seni Rupa yang dikelola oleh pemerintah, perorangan atau swasta. Lembaga tersebut mempunyai peran penting terhadap pertumbuhan dan perkembangan seni patung modren di Sumatera Barat. Di antara institusi pendidikan yang memiliki program studi seni rupa yang ada di Sumatera Barat, diawali di ruang Pendidikan INS (Indonesich Nederlandsche School) Kayutanam, Jurusan Seni Rupa FKSS IKIP (sekarang FBSS Universitas Negeri Padang) Padang, SSRI/SMSR (sekarang SMK 4 Padang) dan Jurusan Seni Murni di STSI (sekarang ISI) Padangpanjang.

INS Kayutanam. Sekolah ini mulai berdiri pada tahun 1926 dan mencapai puncak kejayaannya tahun1941. Lembaga ini mampu menghasilkan seniman patung seperti yang diperlihatkan oleh Ramudin dan rekan-rekannya dengan karya seni patung dalam bentuk monumen (gambar 1 dan 2). Namun, sejak masa penjajahan Jepang selama tiga setengah tahun (1942-1945) sampai zaman perjuangan kemerdekaan Indonesia (1945-1950), lembaga pendikan INS Kayutanam mengalami gangguan dalam proses pembelajarannya. Tiga tahun berikutnya, ketika peristiwa PRRI (1958-1961), kondisi lembaga pendidikan ini semakin parah hingga tertutup oleh hutan dan rimba. Tahun 1967 lembaga ini dibenahi lagi sehingga sekolah ini dapat melaksanakan proses pembelajarannya kembali. Sejak tahun 1991 sampai saat ini INS Kayutanam sudah berubah menjadi SMU Plus. Kondisi semacam ini diyakini sebagian besar pengamat pendidikan bukanlah kondisi yang menguntungkan untuk menghasilkan cikalbakal seniman patung yang berkesinambungan dalam perkembangan seni patung modern di Sumatera Barat. Walaupun demikian, lembaga tersebut telah membuka jalan dan meletakkan kerangka untuk pertumbuhan dan perkembangan seni patung modern di Sumatera Barat pada tahapan selanjutnya.

Seni Rupa FBSS- UNP Padang. Pada tahun 1963 muncul Jurusan Seni Rupa di FKIP Univesitas Andalas (Unand), yang sekarang menjadi Jurusan Seni Rupa FBSS Universitas Negeri Padang (UNP). Lembaga ini  bukanlah lembaga penghasil seniman seni rupa (khususnya patung) dalam arti yang sesungguhnya. Kemampuan berkarya seni patung lulusan lembaga ini hanya merupakan efek samping dari studi atau mata kuliah seni patung yang wajib diikuti oleh mahasiswa selama satu semester, yang berlanjut sebagai matakuliah pilihan minat utama selama tiga semester berikutnya. Memang beberapa lulusan lembaga ini dapat memiliki dasar pengetahuan dan keterampilan dasar mematung secara realis. Dasar pengetahuan ini dapat dikembangkan mereka melalui pengembangan diri dengan mengikuti perkembangan seni patung setelah menyelesaikan program studinya. Dan kenyataannya, sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh oleh lulusan Jurusan Seni Rupa UNP tersebut, telah memberi pengaruh terhadap perkembangan seni patung modern di Sumatera Barat seperti terlihat pada (gambar 3).


Gambar.3
Lokasi patung (klik kanan di sini-AT 6 Harvart)

SSRI/SMSR. Pada tahun 1965 berdiri institusi pendidikan senirupa SSRI/SMSR (sekarang SMKN 4) dengan lima jurusan, termasuk salah satunya Jurusan Seni Patung. Sejak tahun 1985, Jurusan Seni Patung di sekolah tersebut dijadikan sebagai mata pelajaran minor atau mata pelajaran pilihan. Sejak tahun 1996 sampai saat ini, sesuai dengan Surat Keputusan MPKN Nomor: 70/KU/MPKN/96 tanggal 12 Juli 1996, mata pelajaran seni patung semakin diperkecil porsinya menjadi bagian dari mata pelajaran nirmana ruang. Kondisi yang semula membawa pencerahan terhadap perkembangan seni patung di Sumatera Barat melalui sekolah tersebut, namun pada akhirnya harus menerima kenyataan akan berkurangnnya calon seniman patung yang selayaknya mampu berkembang setelah mereka melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau berkarya dengan mengikuti berbagai perkembangan di bidang seni patung.

STSI Padangpanjang. Pada tahun 2006, berdiri Jurusan Seni Murni di STSI Padangpanjang. Walaupun belum menghasilkan seniman patung, setidaknya sampai saat ini, melalui staf pengajarnya juga telah ikut berkontribusi terhadap pekembangan seni patung modern di Sumatera Barat melalui karya yang diikutsertakan pada setiap kesempatan pameran. Besar harapan pada institusi ini pada masa yang akan datang perkembangan seni petung di Sumatera Barat akan jauh lebih baik.

Lembaga Pemerintahan. Selanjutnya peran lembaga pemerintahan sebagai bentuk lembaga yang telah terorganisir secara resmi mempunyai peranan yang signifikan sebagai pelindung maupun fasilitator bagi pertumbuhan dan perkembangan seni patung dan kesenian pada umumnya di Sumatera Barat. Di antara bentuk perhatian dan perlindungan lembaga pemerintah tersebut, baru pada tataran memfasilitasi pembuatan karya patung untuk keperluan monumen yang umumnya dibiayai oleh Pemerintah Daerah TK I dan II. Selain itu, bentuk perlindungan dan perhatian pemerintah Sumatera Barat dalam bidang kesenian, juga telah didirikan lembaga yang dapat dijadikan sebagai mediator dan fasilitator bagi perkembangan seni patung, yaitu UPDT Taman Budaya. Dengan skala perioritasnya yang terbatas. Institusi Taman Budaya ini telah melaksanakan pameran karya-karya seni patung sebagai alat ekspresi pribadi para seniman, yang dapat menjembatani antara seniman dan karyanya dengan masyarakat penikmat dan pengamatnya.

Sementara itu, institusi atau badan usaha milik negara dan daerah serta lembaga swasta, juga telah ikut berpartisipasi dalam perkembangan seni patung modern di Sumatera Barat. Terutama kontribusinya dalam bentuk sokongan dana untuk pembuatan karya seni patung bagi keperluan monumen dan kaya seni patung monumental lainnya.

Seniman. Faktor seniman adalah penentu yang juga berperan secara langsung terhadap kesinambungan seni patung modern Sumatera Barat. Umumnya seniman patung modern Sumatera Barat seperti yang yang terungkap dari data penelitian rata-rata memiliki profesi ganda. Selain sebagai seniman patung, mereka juga sebagai guru, staf pengajar perguruan tinggi ataupun pegawai negeri. Umumya waktu, fikiran dan tenaga mereka tidak digunakan sepenuhnya untuk berkarya seni patung. Hal ini terkait dengan konsep seniman itu sendiri, sebab seorang yang benar-benar seniman menurut konsep Becker (1984:229), yaitu orang sepenuhnya siap dan mampu menghasilkan karya seni yang sesuai dengan aturan-aturan keprofesiannya, bukan pekerjaan sekunder. Umumnya seorang seniman sepenuhnya terintegrasi ke dalam dunia seni yang ada. Ia tidak akan menyebabkan masalah untuk siapapun yang bekerjasama dengannya, selanjutnya karyanya akan mendapatkan audiens yang besar dan responsif. Seniman adalah sebuah  profesi yang utuh.


Temuan lain 4)
Temuan lain menunjukkan bahwa perkembangan seni patung modern Sumatera Barat juga diciptakan oleh berbagai seniman patung lainnya.

Karya patung yang di buat oleh seniman kelompok tersebut, pada umumnya dalam bentuk figuratif yang mudah dimengerti oleh orang banyak. Sehingga seni patung tersebut memiliki keterbatasan dalam gaya dan cenderung realis. Dilihat dari bahan atau materi, teknis dan gaya, hampir tidak ada perobahan selama lebih dari lima puluh tahun lamanya sejak kehadiran karya patung Ramudin “Pejuang yang Tak Dikenal” tahun 1950. Sehingga kehadiran seniman yang datang dari luar Sumatera Barat untuk pembuatan patung di taman Monumen Bung Hatta Bukittinggi yang ditunjukkan M. Hartono seperti (gambar 4), adalah hal yang seharusnya terjadi karena tuntutan kualitas dari patronase yang sudah semakin tinggi apresiasinya dibidang seni patung. Di sisi lain, seniman patung yang mengelompok tersebut, hanya sebagian kecil yang muncul atau ikut berkarya dalam seni patung dengan fungsi personal atau pada bentuk seni patung sebagai alat ekspresi pribadi.


Gambar. 4. 
Untuk melihat lokasi (klik kanan ini)
Penelusuran terhadap seniman patung modern Sumatera Barat, secara kuantitas, adalah Nazar Ismail yang menghasilkan karya patung paling banyak, yaitu hampir mencapai seratus lima puluh buah. Semua karya patung Nazar yang terbuat dari bahan baku kayu dan batu kali dengan teknik carving atau pahat, dapat dianggap sebagai fixed idea (mapan) atau dalam gayanya yang khas. Hal ini tentu tidak akan memberikan keuntungan bagi Nazar, karena menurut (Becker, 1984:230), tidak ada dunia seni bisa terus eksis tanpa persediaan orang-orang yang mampu mengubah produk-produk khasnya. Dengan demikian, mungkin Nazar belum sepenuhnya berupaya mengikuti perkembangan seni patung yang terus berlangsung dalam aktivitasnya. Dari pengakuan Nazar, selama berkarya di bidang seni patung, hanya lima karya yang sudah dikoleksi peminatnya dengan imbalan yang belum sepantasnya atau seperti yang diistilahkan Nazar dengan sebutan nilai “pertemanan” (wawancara, 17 Maret 2007).

Masih rendahnya secara kuantitas karya seni patung seperti ditunjukkan Syafwandi, Elvis, dan Nur Salam, adalah sebuah kenyataan lain yang timbul dari propesi ganda dan masalah lain yang dialami oleh seniman patung modern Sumatera Barat. Seperti Syafwandi, setelah menyelesaikan pendidikan Furniture and Sculpture tahun 1996 di Jepang, tidak lebih dari lima buah karya yang dapat diselesaikanya karena ia harus mengikuti program Magister Seni di ITB Badung tahun 1998. Setelah menyelesaikan program tersebut tahun 2001, Syafwandi “membuat jarak” dengan seni patung dan ia disibukkan oleh aktivitas lain yang mungkin memberikan harapan lebih dalam karirnya sebagai staf pengajar di Jurusan Seni Rupa FBSS Universitas Negeri Padang.

Kondisi sebagian wilayah yang belum akrab dengan seni patung, tampaknya membatasi ruang gerak Elvis dalam berkarya seni patung di tempat tugasnya STSI Padangpanjang. Secara mendasar, ia telah memiliki pengetahuan dan keterampilan sebagai seorang yang mampu mengikuti konvensi-konvensi yang berkembang dalam dunia seni patung. Hal ini dapat dilihat dari keinginan yang telah dicapai melalui sekolah menengah dan pergguruan tinggi di bidang seni patung yang pernah diikutinya. Namun ia mengalami keraguan untuk berkarya seni patung dengan bentuk-bentuk figuratif, sehingga Elvis menjadikan benda-benda tradisi yang ada di lingkungan masyarakatnya sebagai sumber penciptaan karyanya. Kondisi semacam itu, tentu menjadikan Elvis membatasi diri dalam menetukan objek karya patungnya yang sekaligus membatasi ruang gerak proses kreatifnya untuk berkarya (wawancara 5 april 2007).

Hal serupa tampaknya juga menjadi masalah bagi Nur Salam dalam berkarya di bidang seni patung. Lulusan diploma III dengan konsentasi seni patung di P3GK Yogyakarta tahun 1989 ini, juga telah memiliki pengetahuan dan keterampilan secara akademik seperti dapat dilihat melalui karyanya. Namun dari hari ke hari, ia juga seakan berjarak dengan seni patung, sehingga tidak banyak karya patung yang dapat dihasilkannya. Menurut pengakuan Nur Salam, di samping hilangnya Jurusan Seni Patung tahun 1984, dan mata pelajaran seni patung hanya bagian dari mata pelajaran nirmana ruang pada kurikulum (SMK Negeri 4 Padang dulu SSRI) di tempat ia mengajar, Salam juga masih merasa ragu dan ingin menelusuri medan sosial agama yang dianggapnya menjadi penghambat pada proses kreatifnya untuk berkarya dalam seni patung (wawancara, 5 April 2007).

Seniman yang mungkin akan membawa pencerahan dalam perkembngan seni patung modern di Sumatera Barat sampai saat ini, adalah Lisa Widiarti. Ia memiliki eksistensi yang cukup memadai dalam aktivitasnya sebagai seniman patung di sela tugas mengajarnya di Jurusan Seni Rupa FBSS Universitas Negeri Padang sejak tahun 1994. Hal itu ditandai Lisa dengan keikutsertaanya dalam pameran seni patung sebanyak dua belas kali sampai saat ini, baik tingkat Daerah maupun tingkal Nasional. Dengan modal pengetahuan, keterampilan dan pengalaman serta upaya mengikuti perkembangan yang terjadi pada wilayah seni patung yang terus berkembang, Lisa berkomitmen untuk terus berkembang, baik untuk dirinya maupun untuk kepentingan tugasnya sebagai staf pengajar dan daerahnya Sumtra Barat yang masih belum berjalan sesuai dengan harapan seniman dan pemerhati seni patung. Diantara komitmen Lisa tersebut, selain aktivitasnya dalam berpameran, pada tanggal 25 Februari 2005 yang lalu, sebuah gagasan Lisa telah jadi kenyataan dengan berdirinya sebuah wadah bagi seniman patung yaitu Asosiasi Pematung Indonesia (API) daerah Sumatera Barat yang baru satu-satunya hadir di luar pulau Jawa sampai saat ini.

Fenomena faktual yang menyemangati Lisa Widiarti untuk terus eksis dalam perkembangan seni patung Sumatera Barat, dijelaskan Lisa tentang yang terjadi pada seniman patung Indonesia seperti Edhi Sunaryo, Gregorius Shidharta Soegio, But Muctar, Sunaryo, Rita Widagdo, Anusapati, Kasman KS., dan seniman patung dengan profesi ganda lainnya. Seniman patung yang juga staf pengajar perguruan tinggi ini, karena ia mengikuti konvensi-konvensi yang berkembang dalam seni patung, mereka tidak kehilangan audiens dan karya mereka diterima oleh banyak peminat dan pengamat yang memberikan imbalan secara ekonomis yang cukup memadai (wawancara, 10 Maret 2007).

Realitas dan Kondisi-kodisi yang dialami oleh seniman patung seperti telah disampaikan di atas, tidak terlepas dari pengaruh lingkungan masyarakat tempat mereka hidup. Dengan demikian, keberadaan seni patung modern di Sumtra Barat, juga tidak dapat dipisahkan dari peran serta masyarakat sebagai faktor pendukungnya.

Tinjauan terhadap faktor masyarakat, adalah sangat berperan sebagai pendukung terhadap pertumbuhan dan perkembangan seni patung modern Sumatera Barat. Masyarakat Sumatera Barat yang identik dengan sebutan orang Minagkabau itu, menurut Sairin (dalam Zed, 1992:34), “dengan mudah dapat menerima berbagai ide dan benda material dari luar kebudayaannya, selama hal itu tidak mengganggu eksistensi kebudayaan Minangkabau dan kalau boleh unsur baru itu dapat memperkaya kebudayaan Minangkabau itu sendiri”. Dengan demikian, kehadiran seni patung modern di Sumatera Barat yang sudah mencapai lebih dari setengah abad lamanya itu, adalah suatu pertanda bahwa seni patung tesebut bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakatnya.

Walaupun demikian, pada awal pertumbuhan seni patung modern di Sumatera Barat, memang terjadi hambatan karena di sebagaian medan sosial kultural agama pada masyarakatnya masih ada yang tabu dengan kehadiran seni patung tersebut. Namun masyarakat Sumatera Barat yang juga berada dalam institusi budaya, yang menurut (Zolberg, 1990:21) bahwa, berbagai karakteristik dari banyak institusi sosial lain, mereka tidaklah tetap dan statis, tetapi berubah dari waktu mereka dibentuk. Di sisi lain, bahwa perubahan itu inheren dalam masyarakat, juga tercermin dalam logika “tradisional” orang Minangkabau seperti terdapat pada pepatah adat yang mengatakan bahwa: ”sakali aia gadang, sakali tapian barubah” (sekali air bah, tepian dengan sendirinya juga ikut berubah). Kondisi perubahan masyarakat adat Minagkabau sebagai penghuni sebagian besar wilayah Sumatera Barat itulah yang menjadikan seni patung modern dapat tumbuh dan berkembang di tengah masyarakatnya seperti wujudnya yang ada dan dapat dilihat sampai saat ini.


2. Arah Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Patung 
     Modern Sumatera Barat
Arah perkembangan seni patung modern Sumatera Barat yang masih cenderung pada fungsi sosialnya ketimbang fungsi personalnya. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan seni patung tersebut, diyakini terletak pada faktor ekonomisnya. Hal itu dapat dilihat dari faktor pendukung dan sekaligus yang mengarahkan, seperti yang dilaksanakan oleh institusi pemerintahan sebagai penyandang dana untuk pembuatan patung dalam wujud monumen. Sehingga seniman memperoleh imbalan secara ekonomis dari hasil karya seni patung yang di buatnya.

Di satu sisi, peran institusi pemerintahan jelas memberikan keuntung secara ekonomis kepada seniman. Di sisi lain, kondisi semacam itu pulalah kiranya yang memungkinkan untuk menentukan arah pekembangan seni patung Sumatera Barat yang cenderung pada fungsi sosialnya dengan wujud monumen tersebut. Baik dalam wujudnya yang bertendensi politis dengan wujud realis dari peristiwa napak tilas perjuangan bangsa tempo dulu dengan cara menyalin bentuk itu, maupun kondisi kesinambungan yang gradual yang kadang kala megalami keterputusan seperti pada awal dan perkembangan seni patung modren di Sumatera Barat.

Semetara peran institusi pemerintah dalam hubungannya dengan perkembangan seni patung dengan fungsi personal atau sebagai alat ekspresi pribadi, sudah tersedia Taman Budaya sebagai institusi yang dapat menjembatani karya seniman patung dengan masyarakat penikmat dan pengamatnya. Namun, Taman Budaya memiliki skala prorioritas yang terbatas dan tidak mungkin digunakan sesuai dengan keinginan seniman karena banyaknya jenis kesenian yang harus ditampilkan dengan sokongan dana pemerintah yang tebatas dan telah ditetapkan. Di samping itu, Taman Budaya bukanlan institusi atau lembaga pemerintahan yang berfungsi sebagai lembaga yang dapat mendistribusikan atau artdialer karya seni patung yang dipamerkan seniman kepada peminat atau audiens. Sementara, “sebagian besar seniman secara memadai tetap berorientasi pada dunia seni untuk memerlukan sistem distribusi yang akan membawa karya jadi ke sebuah audiens, jika bukan untuk dukungan ekonomis (Becker, 1984:97). Dengan demikian, laju percepatan perkembangan seni patung sebagai alat ekspresi pribadi, belumlah sesuai dengan harapan seniman dalam mendapat kompensasi secara ekonomis untuk membayar investasi waktu, bahan dan dana yang mungkin mereka keluarkan dalam berkarya.

Selain institusi pemerintah, institusi atau badan usaha milik negara dan daerah (BUMN/BUMD) juga berperan sebagai faktor yang menentukan arah pertumbuhan dan perkembangan seni patung modern Sumatera Barat. Dengan kontribusi yang diberikan, juga berupa dukungan dana pembangunan untuk seni patung dalam bentuk monumen dan bentuk monumental lainnya. Sokongan dana ini menurut Becker (1984:105); bertujuan untuk ...membangun citra perusahaan dan oleh karena itu biasanya menjadi sangat konservatif, yang dirancang untuk menghasilkan pengaruh positif pada jumlah besar orang. Dengan demikian, pembuatan karya seni patung juga tidak terlepas dalam bentuk monumen dan bentuk monumental lainnya. Hal itu dapat dilihat seperti patung penghias areal terbuka pabrik, patung penghias kota yang juga cenderung realis yang menyalin bentuk agar mudah difahami oleh orang banyak.

Selain institusi pemerintahan dan BUMN/BUMD yang memungkinkan penentu arah perkembangan dan pertumbuhan seni patung modern Sumatera Barat, peran swasta atau mayarakat juga memliki peran yang cukup menentukan. Secara moril, peran yang ditujukkan adalah telah menerima kehadiran karya seni patung dalam bentuk monumen yang berdiri hampir diseluruh kabupaten dan kota di Sumatera Barat. Dukungan finansial juga telah dilaksanakan oleh masyarakat perantau yang tegabung dalam Gebu Minang (wadah bagi perantau Minangkabau yang berkedudukan di Jakarta). Namun dukungan tersebut juga mengarah pada pembuatan monumen seperti patung Bung Hatta yang terletak di taman Monumen Bung Hatta Bukittinggi (gambar 4). Patung yang bertendensi politis dan dibuat dari bahan perunggu dengan teknik cetak atau casting itu, merupakam wujud realis yang menyalin bentuk dari tokoh proklamator Bung Hatta yang bernegeri asal Sumatera Barat.


SIMPULAN 5)
Pertumbuhan dan perkembangan seni patung modern di Sumatera Barat, memang berjalan secara gradual dan kadang-kala mengalami keterputusan sehingga tidak berkesinambungan secara baik. Karena sudah berjalan lebih dari setengah abad lamanya, ada terjadi peningkatan pada jumlah karya seni patung dalam wujud monumen dan seni patung monumental lainnya. Peningkatan terhadap jumlah tersebut, tampaknya belumlah diiringi oleh pekembangan bentuk, bahan dan tenik secara memadai. Sementara seni patung sebagai alat ekspresi pribadi, belumlah muncul ke permukaan dalam tampilan yang lebih baik seperti keinginan seniman dan pengamatnya.

Banyak faktor yang mempengaruhi dan menentukan arah pertumbuhan dan perkembangan seni patung modern di Sumatera Barat. Di antara faktor yang mempengaruhi tersebut adalah: institusi sosial, seniman dan masyarakat sebagai pendukungnnya. Institusi sosial, adalah diantara faktor penentu dalam perwujudan seni patung Sumatera Barat sampai saat ini. Hal itu terlihat dari peran serta institusi atau lembaga pendidikan seni rupa, lembaga pemerintahan lainnya, badan usaha milik negara dan daerah (BUMN dan BUMD) dan lembaga swasta serta lembaga-lembaga terkait lainya. Peran serta institusi atau lembaga tesebut, tidak terlepas dari tujuan dan kepentingan serta sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.

Faktor seniman, adalah faktor penentu yang juga berperan secara langsung terhadap kontinuitas dan perkembangan seni patung modern Sumatera Barat. Memperhatikan keberadaan seniman patung tersebut, dapat dikatakan bukanlah sepenuhnya berperan sebagai seorang seniman patung, karena mereka memiliki profesi utama sebagai guru, staf pengajar pergguruan tinggi ataupun sebagai pegawai negeri lainnya. Kondisi yang dialami oleh profesi kesenimanan seperti hal tersebut, diyakini tidak semua waktu, fikiran dan tenaga dapat digunakan untuk berkarya dengan baik. Di samping itu, berbagai faktor lain yang kurang menguntungkan, juga ikut mempengaruhi seniman patung dalam berkarya seperti belum memadainya imbalan investasi yang dikeluarkan oleh seniman, terutama untuk karya seni patung sebagai alat ekspresi pribadi.

Faktor masyarakat, berperan sebagai pendukung terhadap pertumbuhan dan perkembangan seni patung modern di Sumatera Barat. Pada awal pertumbuhan seni patung tersebut memang terjadi hambatan karena di sebagian medan sosial agama pada masyarakatnya masih ada yang tabu dengan kehadiran seni patung. Namun masyarakat Sumatera Barat yang juga berada dalam institusi budaya yang cenderung berubah dari waktu mereka dibentuk. Sehingga seni patung tersebut menjadi bahagian dari kehidupan mereka, terutama pada seni patung dengan fungsi sosialnya seperti karya patung dalam wujud monumen dan bentuk monumental lainnya.

Selain institusi pemerintah, institusi atau badan usaha milik negara dan daerah, seniman dan masyarakat, juga beperan menentukan arah pertumbuhan dan perkembangan seni patung modern Sumatera Barat. Hal itu dapat dilihat dari kontribusi yang diberikan berupa dukungan dana dan moril untuk pembangunan seni patung bentuk monumen dan bentuk monumental lainnya biasanya menjadi sangat konservatif dan dirancang untuk mudah difahami oleh orang banyak. Dengan demikian, wujud seni patung yang dihasilkan juga cenderung realis atau menyalin bentuk.
Gambar Monumen Simpang Haru. Dibangun 1991 selesai 1992. Sekitar tahun 80-an, ada kecendrungan setiap kota di Indonesia untuk membangun citranya sendiri melalui penataan ruang-ruang publik. Misalnya dengan citra kota perjuangan, hal ini yang menginspirasi Syahrul Ujud sebagai walikota Padang saat itu, disamping citra Padang Kota Tercinta. Lokasi ini (simpang Haru) adalah tempat di mana para pelajar STM menyerang tentara sekutu, atas penyerangan pertama kali ini telah memicu penyerangan-penyerangan lainnya dan gejolak perjuangan di kota Padang melawan sekutu Belanda yang masuk ke kota Padang.

Untuk melihat lokasi  (klik kanan ini) Catatan Kaki
  1. Untuk tidak salah tafsir, pengertian daerah Padang berbeda dengan pengertian kota Padang. Sistem kekotaprajaan di Hindia-Belanda dalam pemerintahan desentralisasi dimulai sejak keluarnya ordonansi (STAL 1906 No.151) yang ditanda tangani oleh Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz tanggal 1 Maret 1906, dan sejak 1 April 1906 kota Padang telah berstatus Gemeente (kota). Sistem kekotaprajaan ini diperintah oleh seorang Burgemeester (walikota) dan bertanggung jawab kepada Dewan Kotapraja. Untuk ulang tahun kota Padang akan terlalu berlebihan jika ditarik ke masa lampau, hal ini telah menjadi polemik dalam menentukan ulang tahun kota Padang. Sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_kota_Padang.
  2. Kalau kita melihat lebih jauh lagi ke belakang, setidaknya pada waktu munculnya gerakan revivalisme Islam sejak pergantian abad Ke 18/19, sewaktu pergerakan “Kaum Paderi”, menurut Yakub (1987:29), “tidak sedikit benda-benda kuno dan patung-patung yang dibinasakan dan amat penting bagi penyelidikan dan penulisan sejarah”. Pada gilirannya, hal ini tentu berpengaruh akan pasang-surutnya pertumbuhan dan perkembangan seni patung modern di Sumatera Barat.
  3. Ekspresi adalah ungkapan, ungkapan seni patung bisa realis bisa juga abstrak. Ada berbagai ungkapan dalam seni patung. Ungkapan seni patung yang dianggap modern (baru) diantaranya adalah patung dengan ungkapan non figuratif. Non-Figuratif (non-sosok) yaitu yang tidak menggambarkan figur, seseorang atau makluk yang dikenal, dimana seniman semata bermain dengan komposisi material, untuk menciptakan bentuk baru sebagai ekspresi pribadi.
  4. Pada tahun 80-an , sewaktu wali kota Syarul Ujud dan Kepala Bappeda Zuiyen Rais. Bappeda Kota mengumpulkan tokoh seniman yang ada seperti Arbi Samah, Ibenzani Usman, Yosef Datuk Garang dan Nasbahry Couto. Pada saat itu dijalin kerjasama antara Jurusan Arsitektur Universitas Bung Hatta, Jurusan Seni Rupa IKIP Padang dan Pemda Kota Padang untuk sebuah konsep Padang Kota Perjuangan yang ingin di tonjolkan oleh Pemda Padang. Bappeda dalam konsep perencanaannya memanggil semua tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan yang masih ada dan diadakan berbagai rapat di aula kota madya Padang. Bappeda memberikan beberapa literatur khusus tentang sejarah kota Padang kepada penulis. Diberi kesempatan melihat lokasi-lokasi bekas perjuangan seperti peristiwa olo, simpamg haru, pengibaran bendera pertama di kantor polisi Padang, monumen Simpang Tinju (Bagindo Azizchan), dan sebagainya. Secara keseluruhan konsep sketsa monumen perjuangan yang akan di bangun di rancang oleh Nasbahry Couto, konsep ini dibuat dengan sketsa oleh Nasbahry Couto dan diberikan ke Bappeda, khususnya kepada Zuyen Rais sebagai ketua Bappeda saat itu.  Khusus untuk monumen Simpang Haru konsepnya di rancang oleh Ibenzani Usman, tidak lagi menggambarkan perlawanan pelajar STM Simpang Haru tetapi konsep tiga tungku sajarangan yang digambarkan dengan tiga lidah api dari konstruksi beton. Konstruksinya dibangun oleh Fakultas Teknik yang diketuai oleh Ir. Ahmad Dahlan. dari jurusan Sipil. Monumen ini memang yang terbesar di kota Padang. Pengawas pelaksana dan pengontrol dana adalah Nasbahry Couto melalui rekening pribadi. Dana ini sebesar 200 juta disumbangkan oleh BRI Pusat, Jakarta. Dapat dikatakan pembangunan besar-besaran patung dan monumen kota Padang adalah sejak tahun 1983 sd 1991 di kota padang berdasarkan sketsa yang dibuat oleh Nasbahry Couto. Hanya satu patung monumen perjuangan pemuda Syarif yang terletak di depan  Bank BPD pusat (disamping kiri) Ramayana Plaza yang dikerjakan bertiga oleh Nasbahry Couto (sekarang dosen seni rupa FBSS UNP Padang), Asnam Rasyid (sekarang kepala Taman Budaya Padang) dan Sutrisno (sekarang jadi guru seni rupa di Jakarta). Monumen-monumen atau patung yang di buat ini konsepnya bukan sekedar untuk narratif (menceritakan perjuangan), tetapi berfungsi sebagai landmark kota Padang. Yaitu sebagai sense of place, sebagai penanda tempat, agar sirkulasi orang berjalan dikota tidak tersesat. Konsep ini muncul dari bidang arsitektur yang saat itu Nasbahry Couto menjadi tim dari Fakultas Teknik jurusan arsitektur Universitas Bung Hatta. Jadi kemunculan patung saat bukan lagi mempersoalkan konsep realis, non figuratif , abstrak atau bukan. Masing-masing pelaku seniman patung yang mengerjakan lokasi bersejarah boleh menafsirkan konsep yang dibuat oleh Bappeda itu menurut versinya masing-masing. Tetapi harus menjadi bagian dari arsitektur perkotaan dan atau land mark kota. Sebagai contoh monumen perjuangan Bagindo Aziskhan di Simpang Lapai (dulunya disebut simpang Kandis) yang berbentuk tinju. Patung ini ditafsirkan oleh pematung sebagai bentuk tinju Bagindo Aziskhan yang menggambarkan tekad untuk melawan Belanda. Dan ditempat itulah beliau ditembak oleh Belanda. Sebagai sebuah penanda tempat, persepsi sebagai monumen tekad Azizkhan lambat laun menghilang. Warga sekitar dan kemudian warga kota menamakan atau mempersepsikan sebagai "Simpang Tinju". Hal ini memperlihatkan betapa kuatnya persepsi "penanda tempat dan penanda bentuk" bagi warga kota, dengan perkataan lain, dengan sebutan atau melihat patung tinju ini masyarakat kota mengetahui dia dimana dia berada.
  5. Psikologi sosial dan sosiologi  sering dipertukarkan, sebab keduanya sama-sama mempelajari kelompok manusia dan perilaku kelompok tersebut. Bagaimanapun, perspektif atau cara pandang mereka sangat berbeda. Sarjana sosiologi bekerja keras  memahami perilaku kelompok dalam kaitan dengan institusi sosial dan masyarakat. Sebaliknya  sebaliknya sarjana psikolog sosial memusatkan pada  individu, dan bagaimana mereka merasa, saling berhubungan, dan mempenga¬ruhi satu sama lain. Mereka belajar bagaimana individu menggunakan pengaruhnya pada kelompok, dan bagaimana keadaan kelompok mempengaruhi perilaku individu.
    Jika bidang seni dikaitkan dengan sosiologi, maka terdapat distansi yang sangat lebar antara kepentingan ekspresi individu (seni) perupa dengan kepentingan institusi (sosial). Misalnya institusi bicara tentang aturan-aturan dalam perkotaan, institusi pendidikan bicara tentang aturan-aturan dalam pendidikan, ciri dari institusi sosial adalah agar individu dalam kelompoknya dapat diatur sesuai dengan misinya. Oleh karena seni patung masuk dalam ruang kota, kepentingan perkotaan dapat diperlihatkan dalam berbagai contoh seperti kepentingan terhadap tempat, lokasi tertentu yang bersejarah, taman kota atau urban design. Konsep-konsep seni patung moderen, tidak jauh dari konsep-konsep pengisisan ruang untuk persepsi tertentu dalam ruang publik. Namun, tentu saja masih terdapat ruang bagi kepentingan ungkapan visual seniman, sejauh mereka dapat menafsirkan kepentingan sosial dan atau institusinya.
     
Biodata Singkat

Erfahmi, kelahiran kota Padang, dengan latar belakang pendidikan SMSR, kemudian melanjutkan studi di jurusan Pendidikan Seni Rupa IKIP Padang, selanjutnya menamatkan studi S2, di ISI Jogya. Beliau sangat berminat dalam bidang seni patung dan karya-karyanya banyak tersebar di Sumatera Barat. Beberapa kali ikut pameran bersama seni lukis, baik dalam maupun luar negeri (Malaysia). Artikel ini adalah hasil penelitian beliau tentang seni patung di Sumatera Barat.







DAFTAR RUJUKAN
  • Becker, Howard S. 1984. Art Worlds,. California: University   of California Press .
  • Holt, Claire. 1967. Art in Indonesia: Continuities and Change ( Seni di Indonesia: Kontinuitas dan Perubahan) (terjemahan R.M. Soedarsono. 2000). Bandung: MSPI.
  • Kusnadi & Nyoman Tusan. 1978. Seni Rupa Indonesia dan Pembinaannya. Jakarta: Proyek Pembinaan Kesenian Departeman P dan K.
  • Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung: Remaja Karya CV.
  • Nawawi, Hadari H. 1983. Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
  • Saleh, Boejang Ps. et al. 1956. Almanak Seni 1957. Djakarta: Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional.
sumber: http://fahmipatung-fahmipatung.blogspot.com/2010/05/seni-patung-modern-Sumatera-barat-dalam_4479.html

Lampiran

Sumber: Couto, Nasbahry (1996), Perkembangan Monumen di Kota Padang sejak 1824 sampai tahun 1996, (laporan penelitian, tidak diterbitkan)

Diantara Konsep-konsep Visual yang diberlakukan saat merancang ketinggian patung/ monumen dengan Babpeda Kota Padang (1983-84) sebagai landmark kota Padang.


Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting